Mengenal Paulo Freire (Bagian III; Pesan) -->

Advertisement

Mengenal Paulo Freire (Bagian III; Pesan)

Senin, 13 Juni 2016



Geliat Politik dan Kapitalisme dalam tubuh sekolah

Pengalaman mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadikan apa yang kita pahami dengan jelas hanya sebagai sekedar asumsi. Orang sering menyebutnya sebagai aksioma, aksioma tersebut berbunyi semua praktik pendidikan tidak bias dilepaskan dari opini-opini para guru yang bersifat teoritis opini- opini tersebut pada gilirannya secara tidak langsung berupa interpretasi tentang apa itu manusia dan dunia, bukan sebaliknya yaitu konsep tentang manusia dan dunia dan dunia menyiratkan perlunya pendidikan. Salah satu bahasan pendting dalam konsep manusia itu adalah kejelasan tujuan hidup manusia, bukan sekedar baying-bayang semu sebagaimana binatang. Jika tujuan hidup binatang untuk beradaptasi dengan alam, maka tujuan hidup manusia adalah memanusiakan (Humanizing) dunia melalui proses transformasi. Oleh karena itu mengajari manusia dewasa untuk membaca dan menulis harus dilihat, dianalisa dan dipahami dalam kerangka sperti diatas.orang yang melakukan analisa secara kritis terhadap metode dan teknik yang diterakan guru disekolah akan menemukan kepentingan praksis yang mengingkari nilai filosofis manusia secara tersirat atau tersurat, dalam alur berfikir yang



Hakikat pendidikan—dalam ranah sifat yang selalu mengarah pada tujuan dan impian tertentu disertai dengan praktik—selalu bersifat politis. Tapi permasalahannya adalah kepentingan politik pendidikan itu untuk apa dan siapa. Seperti pengalaman yang terjadi pada masyarakat kota Brazil, dalam pengamatan Freire ada sebuah diskriminasi hubungan antara atasan dengan bawahan, antara pemegang kekuasaan dengan rakyat jelata, oleh Freire dikatakan:
“Kekerasan disulut oleh para penindas, yang mengeksploitasi, yang tak mengakui orang lain sebagai manusia—bukan disulut oleh yang ditindas yang dieksploitasi, yang tak diakui. Bukan orang yang tak dicintai yang memulai ketiadaan cinta, melainkan karena orang yang tak bisa mencinta karena yang dicintainya hanya dirinya sendiri.”
Hal ini menunjukkan bahwa bagi kaum penindas, manusia tak lebih dari sekedar “barang”, bagi penindas hanya ada satu hak bagi mereka hak untuk hidup tentram ,sedang nasib mereka yang hidup kelaparan , kesakitan, dirundung duka berkepanjangan dan putus asa tidak pernah menjadi beban pikiran mereka, mereka hanya mengerti cara mempertahankan diri dengan kenyamanan yang mereka dapati dengan membelenggu hak kaum tertindas.

Seperti halnya terjadi di sekolah-sekolah Freire berusaha membongkar watak pasif dari praktik pendidikan tradisional yang melanda dunia pendidikan, Dia menganggap bahwa pendidikan pasif sebagaimana dipraktikkan pada umumnya pada dasarnya melanggengkan “sistem relasi penindasan”. Freire mengejek sistem dan praktik pendidikan yang menindas tersebut, yang disebutnya sebagai pendidikan 'gaya bank' dimana guru bertindak sebagai penabung yang menabung informasi sementara murid dijejali  informasi untuk disimpan. Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan 'gaya bank' itu sebagai berikut:

  • Guru mengajar murid belajar. 
  • Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. 
  • Guru berpikir, murid dipikirkan. 
  • Guru bicara, murid mendengarkan. 
  • Guru mengatur, murid diatur. 
  • Guru memilih dan memaksakan pilihan¬nya, murid menuruti. 
  • Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. 
  • Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. 
  • Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid. 
  • Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya. 
Tidak mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank menyamakan manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan benda yang gampang diatur. Freire menyebutkan :
semakin banyak tabungan yang dititipkan kepada mereka semakin kurang mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan dunia sebagai pengubah dunia tersebut.


Konsep pendidikan gaya bank tersebut akan memelihara kontradiksi, dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).

Mencari landasan filosofis Pendidikan Freire

Sebelum membahas mengenai pemikiran Freire tentang pendidikan pembebasan ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu bagaimana Freire merancang sebuah teori pengetehuan tentang struktur kehidupan sosial dan bagaimana pendidikan itu terbentuk, dimana pendidikan sendiri merupakan bagian dari kehidupan sosial.

Dalam membatasi tentang pendidikan humanistiknya Freire memberikan sebuah definisi yang memuat sebagian besar pemikirannya tentang konsep pendidikan humanis, menurutnya pendidikan yang humanis adalah:

  1. Pendidikan yang mempertegas dan memperjelas arah pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan, yaitu sebuah upaya pemberdayaan masyarakat tertindas menuju sebuah paradigma kritis dan trasformatif dalam mewujudkan sebuah kebebasan sebagai hak asasi setiap manusia. 
  2. Pendidikan yang selalu menjadi pendamping dan pengawal segala dinamika kehidupan. Dari definisi ini kemudian Freire menfokuskan kajiannya pada sebuah keadaan dalam kebudayaan, pengetahuan dan kondisi suatu kelompok masyarakat. 
  3. Pendidikan emansipatoris yaitu pendidikan yang tidak saja menjalankan peranannya sebagai proses pengalihan pengetahuan. Atau hanya sekedar proses pengumpulan data dan informasi yang disebutkannya penyimpanan (banking), melainkan mengetahui harus menjadikan peserta didik sebagai makhluk yang “menjadi” subjek dan hidup secara aktif merasakan persoalan dan ikut terlibat dalam lika-liku kehidupan. Itu berarti mengetahui juga harus melakukan analisis dan kritis terhadap konstruksi masyarakat yang sedang terbentuk maupun dibentuk oleh lingkungan.

Freire mendasari pendapat diatas atas dasar bahwa masalah ada didunia ini sebab ada manusia dan realitas. Dalam hal ini yang menjadi objek masalah adalah kenyataan objektif antara manusia dan kehidupan sosial, dimana manusia/ masyarakat, --yang melahirkan tindakan seperti konflik antar kelas, tindakan kreatif dan usaha untuk berproduksi yang kesemuanya saling berhubngan secara dinamis dalam sebuah kehidupan sosial--. Dengan dasar ini maka Freire berpendapat bahwa :

  • Pendidikan adalah sebuah proses yang mengambil kehidupan sosial sebagai landasan belajar dan studi. 
  • Pendidikan merupakan salah satu dimensi kehidupan sosial
  • Pendidikan berusaha menyibak apa yang ada dibalik kehidupan sosial itu. 

Oleh kareananya mengambil alternatif pendidikan hadap masalah adalah sebuah pilihan yang tepat. Dengan pendidikan yang berorientasi pada menghadai masalah yang terjadi di masyarakat maka pendidikan akan semakin berkembang. dan pendidikan hendak menciptakan kehidupan sosial baru yang selaras dengan seluruh perencanaan pembentukan masyarakat.

Pengetahuan ini nantinya akan menjadi starting point pasca melek huruf, tidak terlepas dari melek huruf itu sendiri namun merupakan kelanjutan logisnya. Belajar membaca dan menulis diasosiasikan dengan kehidupan sosial secara kritis, belajar membaca dan menulis melibatkan belajar “membaca” realitas dengan melakukan analisis terhadap kehidupan sosial secara tepat karena pada dasarnya pengetahuan adalah sebuah keterlibatan. ***

Baca Juga: 
Bagian I
Bagian II